Jakarta, Tipikor.news – Langit politik Lampung Tengah mendadak gelap. Di balik senyum ramah dan janji pembangunan, tersingkap wajah kelam kekuasaan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya membongkar praktik korupsi yang melibatkan Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, sang penguasa daerah yang kini berubah menjadi pesakitan.
Dalam operasi senyap yang mengguncang, KPK menemukan bahwa Ardito tidak bekerja sendirian. Ia membangun jaringan licik yang melibatkan pejabat, keluarga, hingga anggota legislatif.
Riki Hendra Saputra, anggota DPRD Lampung Tengah, menjadi tangan kanan sekaligus makelar proyek yang mengatur siapa yang boleh menang dan siapa yang harus tersingkir dalam setiap tender pengadaan barang dan jasa.

Perusahaan-perusahaan milik keluarga dan tim sukses Ardito dipaksa tunduk. Mereka dijadikan alat untuk menguras uang rakyat dengan dalih pembangunan. Dari balik meja kekuasaan, Ardito diduga menerima fee sebesar Rp 5,25 miliar selama Februari hingga November 2025.
Uang itu mengalir deras melalui tangan Riki Hendra Saputra dan Ranu Hari Prasetyo, adik kandung sang bupati, yang berperan sebagai kurir suap.
Tak cukup sampai di situ, Ardito juga memanfaatkan Anton Wibowo, Plt Kepala Bapenda Lampung Tengah sekaligus kerabat dekatnya, untuk mengamankan proyek lelang alat kesehatan di Dinas Kesehatan. Anton bukan hanya pelaksana, tapi juga penikmat hasil korupsi yang menodai nama pemerintahan daerah.
KPK pun menetapkan lima orang sebagai tersangka: Ardito Wijaya – Bupati Lampung Tengah periode 2025–2030, dalang utama.
Riki Hendra Saputra – Anggota DPRD Lampung Tengah, makelar proyek. Ranu Hari Prasetyo – Adik Bupati, kurir suap. Anton Wibowo – Plt Kepala Bapenda, pengatur lelang. Mohamad Lukman Sjamsuri – Direktur PT Elkaka Mandiri, penyedia dana haram.
“Pada periode Februari–November 2025, AW diduga menerima fee senilai Rp 5,25 miliar dari sejumlah rekanan atau penyedia barang dan jasa melalui RHS dan RNP,” tegas juru bicara KPK, Mungki, dengan sorot mata tajam di hadapan awak media.
Kasus ini menjadi simbol kejatuhan moral di tengah janji reformasi birokrasi. Publik kini menatap tajam, menuntut keadilan ditegakkan tanpa kompromi. Di balik jeruji besi, nama Ardito akan tercatat bukan sebagai pemimpin yang membangun, melainkan sebagai pengkhianat kepercayaan rakyat. (Red)






















