KorupsiPendidikan

Aroma Korupsi Pengadaan Soal Ulangan di Lampung Tengah Menguap

60
×

Aroma Korupsi Pengadaan Soal Ulangan di Lampung Tengah Menguap

Sebarkan artikel ini

Lampung Tengah, Tipikor.news – Dimulainya musim ujian sekolah yang berlaku di Kabupaten Lampung Tengah, beberapa hari lalu diduga dan tercium adanya dugaan korupsi pengadaan soal ulangan.

Kasus ini berawal dari keluhan beberapa kepala sekolah dan guru sekolah dasar tentang bahan kertas soal ulangan yang kualitasnya sangat buruk.

Diperkirakan jumlah dana terduga hasil korupsi soal ulangan mencapai miliaran rupiah. Para pelaku tercatat dari kalangan oknum guru, jajaran Kelompok Kerja Kepala Sekolah sampai pada Dinas Pendidikan, dijelaskan jika para pelaku begitu kompak dalam mendalami segala peran untuk memainkan sejumlah anggaran bantuan operasional sekolah.

Kasus tersebut dilakukan tepatnya pada saat masa ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester, bagi para siswa SD dilaksanakan.

Berdasarkan pengakuan Sumber kepada Tipikor News, dimana pada saat ujian tersebut dilaksanakan setiap siswa SD di Kabupaten Lampung Tengah, “dipungut” biaya sebesar Rp27.500 persiswa.

Uang tersebut digunakan untuk membiayai pengadaan seperti kertas, soal ujian dan sebagainya.

“Untuk biaya pengadaan soal ujian dana diambil langsung dari dana BOS setiap sekolah. Hal inilah yang jarang diketahui oleh orang tua ,” ujar sumber kepada Tipikor.news sabtu (31/5/2025).

Lebih lanjut diungkapkan, Secara nominal, biaya sebesar Rp27.500/siswa memang tidak terlalu besar. Tidak terlihat karena dana tersebut diambil langsung dari dana BOS setiap siswa.

Namun apabila dikalikan dengan total jumlah siswa tingkat SD yang ada di seluruh Kabupaten Lampung Tengah, maka jumlah uang pengadaan soal tersebut bisa mencapai Rp2 miliar setiap ulangannya.

“Angka tersebut dengan asumsi sebesar Rp27.500 persiswa, untuk biaya pengadaan soal, dikali dengan total jumlah siswa Kabupaten Lampung Tengah.” Terang Sumber mantan kepala SD Negeri di Lampung Tengah yang berinisial S.

“Saya paham kalo setiap pengadaan pasti cari untung. Cuma kualitas kertasnya gak sejelek ini juga. Kertas ini kualitasnya bukan lagi biasa atau bisa dimaklum. Ini buruk dan tidak layak, ” ungkapnya.

Belum lagi apabila jumlah tersebut dikalikan dalam setahun ulangan diadakan sebanyak empat kali dalam setahun. Seperti UTS atau penilaian tengah semester (dua kali dalam setahun), UAS atau penilaian akhir semester dan penilaian kenaikan kelas.

“Bisa dibayangkan berapa pemasukan dana korupsi yang dilakukan dalam setahun, bebernya.

sumber juga menjelaskan, yang menjadi masalah saat ini adalah yang seharusnya pelaksanaan pengadaan soal ujian itu dilakukan langsung oleh pihak sekolah.

“Bukan dengan cara mencetak soal ulangan layaknya soal UN dan dibebankan biayanya kepada siswa, namun hanya dengan penggandaan berupa fotokopi, ungkapnya lagi.

Yang terjadi di Kabupaten Lampung Tengah mekanisme tersebut tidak mampu berjalan sesuai dengan metode teknis, karena hal itu dikordinir melalui kelompok kerja yaitu kepala sekolah atau K3S.

“Sehingga biaya penggandaan soal ujian yang tadinya hanya Rp1.000 sampai Rp10.000 setiap siswa, menjadi meningkat sebesar Rp27.500 persiswa.

“Diduga dana tersebut digunakan untuk membayar pihak ketiga. Yaitu pihak guru – guru pilihan pengawas dari Dinas Pendidikan Lampung tengah yang dikordinir oleh K3S.

Mereka bertugas untuk membuat soal ulangan dan ujian. Serta untuk biaya percetakan pula,” hal ini dijelaskan oleh sang sumber yang juga mantan kepala SD Negeri di Kabupaten Lampung Tengah.

Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau (KTSP) dan Kurikulum Tiga Belas, seharusnya penilaian ulangan itu dilaksanakan langsung oleh pihak guru yang bersangkutan bukan oleh pengawas lain.

Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh petunjuk teknis (juknis) dana BOS yang menyebutkan soal ulangan dan ujian siswa yang dicetak dengan melalui mekanisme fotokopi.

“Namun, kenyataannya yang terjadi saat ini tidaklah demikian. Soal yang dibuat oleh guru – guru pilihan pengawas pembina yang kemudian dicetak oleh pihak ketiga,” ungkapnya.

Jelas cara ini sudah tidak benar. Karena soal dibuat oleh pengawas pembina yang memilih dari beberapa guru. Kemudian soal yang telah jadi “dijual” ke K3S, lalu oleh K3S dicetak melalui pihak ketiga.

Untuk keuntungan dari angka Rp27.500 persiswa itu lalu dibagi – bagi kepada pihak yang terlibat dalam pengadaan soal ujian. Berdasarkan catatannya, dalam setiap kali pengadaan soal ulangan, pihak percetakan yang mendapat proyek tersebut, bisa menyisihkan fee Rp500 setiap soal.

“Apabila fee tersebut Rp2.000 saja dikali jumlah 73.985 siswa berarti sekali ulangan fee yang didapat berkisar Rp148,97 juta. Jika diakumulasi setahun maka fee tersebut disediakan oleh pihak percetakan mencapai Rp595,88 juta. Uang inilah yang digunakan untuk kepentingan seperti jalan – jalan atau family gatering oleh pengawas ujian,” ungkapnya lagi.

Seharusnya pengadaan soal diserahkan kepada masing – masing pihak sekolah. Karena dalam aturan penilaian hak sekolah dalam hal ini guru yang mengkordinir di sekolah, kecuali ujian. Karena itu merupakan hak lembaga sekolah.

Sedangkan fungsi pengawas seharusnya membina sekolah binaannya untuk membuat soal yang sesuai standar. Justru malah mengkoordinir soal dengan cara memanggil para guru pilihan untuk membuat soal dengan menggunakan dana BOS.

“Sebetulnya tidak boleh ada jual beli antara pihak pengawas dan sekolah, yang benar soal yang sudah jadi itu diserahkan ke pihak sekolah kemudian digandakan atau difotokopi tanpa ada biaya yang cukup besar dan dibebankan kepada murid lagi,” jelasnya.

Bagaimana tanggapan Ketua K3S Kecamtan mau kabupaten terkait hal diatas, tunggu kelanjutan berita selengkapnya di Tipikor.news. (tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *